SUDAH SESUAIKAH DISTRIBUSI UANG PEMBANGUNAN PTS??

Biaya pembangunan sudah sejak lama diterapkan. Menggunakan nama yang berbeda namum peruntukannya tetap sama yaitu untuk pembangunan dan melengkapai fasilitas dalam penunjang perkuliahan bagi mahasiswa. Tidak hanya Perguruan Tinggi Swasta (PTS), Perguruan Tinggi Negeri (PTN) pun menerapkan uang pembangunan yang setiap mahasiswa nya harus membayar sesuai dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh PTN ataupun PTS tersebut.
Secara harfiah yang saya fikirkan adalah, ketika seseorang melanjutkan pendidikan di PTS maka mereka akan membayar lebih mahal dibandingkan dengan PTN, hal ini akan berkesinambungan dengan fasilitas yang diterima pasti juga akan lebih bagus dibandingkan dengan PTN. Saya pernah posting di jejaring sosial path ketika berkunjung disalah satu Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) di Bukit Tinggi Sumatera Barat. Saya menuliskan “fasilitas seperti ini (lengkap dan bagus) memang pantas dan wajar kalau mahasiswa bayar mahal di PTS” karena untuk toilet dan tempat wudhu nya sangat bagus dan berkelas, jika saya bandingkan dengan almamater saya dulu yang notabene nya adalah PTN. Balik lagi ke pemikiran awal saya, uang pembangunan di PTS kan lebih besar, dan PTSpun harus gencar memperlihatkan kemegahan gedungnya agar uang pembangunan yang besar tersebut benar-benar berarti untuk fasilitas mahasiswa.

Jika menarik benang merah antara uang pembangunan dengan fasilitas yang diterima oleh mahasiswa, maka akan wajar jika ada uang pembangunan berarti ada bangunan yang dibangun. Menilik hal tersebut, sempat terfikir oleh saya tentang beberapa PTS yang tetap menarik uang pembangunan selama bertahun-tahun namun tidak menampakkan pengembangan gedung sekolah tersebut. Hal ini bisa dilihat dan silahkan dihitung secara kasar. Sudahkan kampus kita merealisasikannya?

Peruntukan dana yang dibayarkan dan yang direalisasikan harusnya sesuai dengan nama biaya yang dikeluarkan oleh mahasiswa tersebut. Ketika mahasiswa membayar uang semester berarti mereka membayar uang belajar dan untuk menggaji orang yang mengajarkan ilmu (dosen), membayar uang kemahasiswaan, berarti sudah jelas uang tersebut diperumtikan untuk kegiatan kemahasiswaan. “uang pembangunan” sudah sewajarnya untuk membangun kampus atau menambh fasilitas. Sayangnya transparasi dari PTS menyebabkan mahaiswa tidak mengetahui apakah benar uang pembangunan diperuntukan untuk penambahan fasilitas atau pengembangan bangunan.

Tidak etis jika suatu PTS menggunakan uang pembangunan untuk gaji karyawan (dosen tetap, dosen tidak tetap tenaga non kependidikan). Karena mahasiswa dan orang tua mahasiswa memahami uang pembangunan untuk pembangunan kampus.

Perlu diketahui oleh mahasiswa bahwa, setiap PTS yang ingin mendirikan sebuah program studi, PTS tersebut harus memiliki infestasi sebesar ±Rp. 1 M. Hal ini bertujuan agar PTS tersebut mampu membayarkan gaji pegawai yang tidak hanya diambil dari uang semester yang dibayarkan oleh mahasiswa, dan bukan uang pembangunan. Sehingga, tidak ada alasan penggunaan uang pembangunan dialokasikan untuk gaji karyawan. Pembayaran gaji karyawan selalu menjadi alasan PTS untuk menutupi ke-abstrakan uang pembangunan yang dibayarkan orang tua mahasiswa namun tidak ada bangunan megah yang berdiri.

Hal ini menjadi pemicu munculnya masalah-masalah di PTS, dimana jika uang pembangunan yang dibayarkan semenjak beberapa tahun sebelumnya hingga saat ini yang dijadikan alasan untuk pembayaran gaji karyawan menimbulkan tanda tanya, “habiskah uang pembangunan tersebut?”. Lalu seberapa gaji yang diterima oleh karyawan sehingga uang pembangunan dari beberapa tahaun lalu tersebut harus dibayarkan untuk kehidupan karyawan, sedangkan gaji karyawan sendiri masih dibawah standar UMP (upah minimum profinsi).

Hal tersebut yang selalu dilakukan oleh PTS abal-abal yang ujung-ujungnya menyebabkan mahaiswa lulus dan dengan akreditasi seadanya (akreditasi C) dan sulit untuk mendapat pekerjaan. Salah satu penilaian akreditasi adalah “kepemilikan bangunan” yang sampai saat ini masih ada PTS yang menyewa gedung kecil untuk beberapa prodi.

Lingkaran setan yang mungkin terjadi adalah, bangunan yang tidak megah (standar PTS) menyebabkan tidak tertariknya calon mahaiswa untuk masuk ke PTS, akan menjadi tidak adanya pemasukan uang pembangunan, hal ini mengakibatkan tidak terbangaunnya bangunan baru di PTS tersebut dan fasilitas-fasilitasnya, sehingga akreditasi pun mengalami pengurangan penilaian dikarenakan bangunan masih disewa, hasilnya PTS akan kembali mendapatkan akreditasi seadnya (akreditasi C) dan gaji karyawan yang tidak memenuhi standar minimum.

Tidak salah jika aturan yang diberlakukan oleh pemerintah mewajibkan jika PTS mendirikan prodi harus memiliki dana minimal dan luas bangunan yang juga sudah ditentukan, agar kejadian seperti yang dialami oleh beberapa PTS tidak terjadi, tidak mendzalimi karyawan dan tidak merugikan mahaiswa nantinya.

Namun, diantara banyaknya mahasiswa yang menuntut keadilan seperti yang dilakukan oleh mahasiswa UGM terhadap uang SPP tunggal ataupun yang dilakukan oleh mahasiswa UNAND atas anggaran pendidikan yang dikurangi oleh pemerintah, beberapa mahasiswa PTS hanya diam dan berharap segera lulus tanpa memikirkan kemana uang pembangunan yang susah payah dicarikan oleh orang tua namun sampai sekarang belum ada gudung baru, perubahan infrastruktur ataupun penambahan fasilitas yang seharusnya dinikmati oleh mahasiswa.

Timbul tanda tanya yang besar dibenak kita, pedulikah yayasan terhadap kampusnya? Mendengar beberapa curhatan dosen PTS, karyawan dan mahasiswa yang salah satu contohnya: beberapa waktu yang lalu disalah satu PTS, muncul sebuah mobil merah dengan plat berseri Kembar dibelakangnya. Mobil ini digunakan untuk menghadiri acara penting ataupun untuk berkunjung ke kopertis. Pertanyaan saya, selama ini apakah kegiatan operasional untuk ke tempat-tempat istimewa terhambat dengan menggunakan mobil lama yang sampai sekarang masih beroperasi?, apakah kalau kita ke kopertis dengan menggunakan mobil yang lebih bagus akan menyebabkan akreditasi kita meningkat? Apakah ini memang kebutuhan utama STIKes atau hanya keinginan individu yang gengsi menggunakan mobil lama?. Belum lagi penambahan AC di ruang yayasan (yang dulunya ruang ketua STIKes) padahal AC sudah ada dan masih berfungsi serta yang menduduki ruangan tersebut maksimal tidak sampai 10 orang tiap harinya. Penambahan AC di ruang rapat, dengan kondisi setiap rapat para karyawan merasa kedinginan, dikarenakan AC lama masih berfungsi walau tidak maksimal. Yang selama ini rapat tetap selalau terlaksana walau menggunakan kopas angin. Kita liahat: ini kebutuhan mahasiswa atau kebutuhan karyawan, atau malah kenutuhan salah satu orang yang tetiba menuntut ruangan nyaman karena dia yang menjadi (decision maker) pertanyakan, uang apa yang digunakan untuk membeli fasilitas tersebut? Kenapa tidak dialokasikan untuk fasilitas mahasiswa yang dulunya dijanjikan di brosur namun tidak pernah didapatkan oleh mahasiswa? Jika memang uang tersebut berasal dari uang pribadi yayasan, apakah mereka yang notabenenya pemilik kampus tidak peduli dengan pembangunan kampus? Apalagi jika uang tersebut berasal dari uang pembanguan, uang pembangunan untuk mahasisiswa atau fasilitas yayasan/karyawa?

Sama hal nya dengan anggota DPR kita, yang meminta fasilitas ini itu sedangkan kinerjanya dipertanyakan oleh masyarakat. Hal yang sama tersingkron dengan keadaan kampus swasta dimana beberapa pihak meminta AC di ruangannya, mobil baru sedangkan fasilitas untuk mahasiswa yang merupakan sumber pendapatan mereka tidak bisa mereka penuhi. Miris nya lagi hal ini terjadi di institusi pendidikan, tempat seharusnya mahasiswa mendapatkan contoh-contoh yang baik.

Sudah puaskah kita dengan apa yang ada selama ini?